Dinginnya pagi menembus masuk melalui sela-sela jendela kamarku. Aroma tanah menusuk hidung akibat hujan semalam. Kubuka mata dengan doa yang selalu sama setiap harinya selama hampir 2 tahun. “Tuhan, tak apa jika dia sakit kemarin. Tapi kumohon tiupkanlah udara kesembuhan untuknya hari ini”. Kutenggelamkan wajah kedalam air di gayung kamar mandi. Berat sekali sih hidupku. Susah sekali sih buat bahagia sebentar saja. Aneh memang, aku tak seharusnya marah apalagi pada sang pemilik diriku.
Perasaan terasa sudah membusuk
melihat dia yang ingin kulihat sembuhnya. Meninggalkan itu memang lebih bisa
diatasi daripada ditinggalkan. Sempat kumengancam pada Tuhan, jika apa yang
perasaanku bisikan itu terjadi aku akan sangat marah. Aku berpikir bahwa Tuhan
berarti tidak lagi menyayangiku.
Ternyata benar, hari ini tepat
dimana kumerasakan semua kasih sayang Tuhan sudah tak lagi berpihak padaku. Sayapku
yang tersisa 1 yang bahkan untuk kupakai terbangpun tidak kuat, diambilnya. Berat
bukan, melihat semua orang terbang dengan kedua sayapnya sedangkan aku yang
terpaksa harus berjalan dibawah menonton mereka. Ku hela nafas dan berkata, yah
mau bagaimana lagi ini hidup yang tidak bisa dirubah dan harus dijalani
meskipun penuh batu besar.
Aku tidak sekuat itu, jadi kenapa
harus aku Tuhan?