Jumat, 18 Desember 2015

Janji Semanis Permen



Aku pernah mendengar sebuah janji. Janji manis semanis permen karet. Telingaku selalu terngiang suara itu yang entah dari mana datangnya. Seperti ada seseorang yang mengatakan bahwa dia aka menjagaku dari serangan semut semut hitam kecil yang hampir tak pernah mengangguku. Aku merasa gembira tak terkira saat aku mengingat janji itu. Ingin ku gigit kemanisan janji itu. Agar aku bisa melihat bukti darinya. Rasa manis yang khas membuat siapa saja luluh. Ya, segenap hatiku luluh saat mendengar dengan jelas janji seperti itu.

Wanita mana yang tak bahagia saat diberi sebait janji dalam seuntai kata yang dijahit dengan lembut bak kapas di dalam hati. Seperti anak kecil yang selalu percaya jika akan diberikan janji manis meskipun sebenarnya tak pernah terjadi. Ruas jari menggenggam rapat di dada menahan sakitnya jantung yang tengah berdetak. Sebanyak detakan jantung dan detik jam dinding aku ingin menagih janji itu pada si pembuat janji.

Hei pembuat janji, ayo lakukan apa yang pernah kau janjikan padaku. Hanya sekedar menjadi penjaga dalam hidupku tak apa. Buktikan bahwa memang janji di negara ini benar benar akan dipertanggungjawabkan. Namun seketika peluru perak perlahan menuju ke arah jantung yang sedang dilindungi tangan. Seeett... Sangat sakit saat aku mengerti bahwa janjimu sudah tak berlaku detik ini. Si pembuat janji, kau berhutang padaku. Menunggumu dipangkuan ayah akan lebih aman bahkan nyaman. Ketika aku tertidur aku berbisik 'ayah, jika si pembuat janji datang bunuhlah ia. Ambillah jantungnya untuk ibu dan hatinya untuk ayah.' 

Janji Semanis Permen


Kamis, 10 Desember 2015

Berpapasan dengan langit


                Pengalaman pertama menembus awan bersama pahlawanku. Lelaki paruh baya yang kucinta dari aku baru melihat dunia sampai aku melihat akhirat nanti. Aku diberikan nasihat yang sebenarnya sedikit penting. Kudengarkan suaranya tanpa melihat raut wajahnya karena pemandangan disekitar yag tak pernah kulihat sebelumnya Nampak sangat indah. Sebelum memulai sesuatu harus diawali dengan doa. Jangan mengucapkan kata selain sholawat jika ingin bertemu awan putih nan halus diatas sana. Aku pernah bermimpi betapa asyiknya bertemu dengan awan dan menatapnya hingga jatuh hati.

                Memasuki ruangan besar yang berbentuk seperti peluru raksasa dengan tersenyum. Melihat sang awak menyambut serta melemparkan senyum yang indah padaku. Kubalas seperlunya, jika tidak aku kira nanti aku akan diturunkan ditengah langit. Duduk disampingnya dengan tempat sedikit sesak tapi tak apa, selagi aku bisa melihat awan impianku nanti. Peluru raksasa itu melaju dengan kencang dan terbang tanpa sayap yang mengepak menuju hamparan langit biru yang luas. Perasaan takut dan senang campur aduk melawan kecepatan laju peluru raksasa itu. 

                Terbang di hamparan langit dan melihat ke jendela dengan dua lapisan kaca menjadi perasaan bahagiaku. Melihat sang daratan yang kecil bak melihat peta timbul dari atlas di sekolah. Ternyata memang benar, dunia dan seisinya sangat amat kecil dibandingkan sang penciptanya. Rasa syukur dengan sedikit senyum aku berbisik dihati. Tak henti ku menatap jendela yang tak begitu besar menanti awan pujaan hatiku. Nampak hutan, sawah, gunung dan lautan. Tapi kebanyakan sih lautan ya. Air yang biru dibawah dan langit pun biru terbentang di angkasa. Ditengahnya ada aku, seperti sandwich dunia rasanya.

                Dari kejauhan aku melihat sesuatu berwarna putih yang halus seperti kapas suwir yang diterbangkan. Menembusnya kurasakan damai di hati. Jika didaratan aku melihatnya sangat besar dan rimbun. Namun dari tempatku duduk, aku dapat menyapa dan menatap keringanan bentuknya yang sebenarnya tak rimbun. Perjalanan yang begitu indah menuju pulau seribu pura dengan ditemani oleh awan putih sang pujaan hati. Awan, jika aku boleh meminta aku ingin memotongmu sebagian saja dan aku akan letakkan di langit kamarku. Maka jika aku merindukanmu, aku bisa menyentuhmu bahkan mengunyahmu sesuka hatiku.

Berpapasan dengan langit

Selasa, 13 Oktober 2015

Segaris potongan roti


Aku mengingatnya, ya roti dan penggaris. Aku masih mengingatnya saat aku mencongkel roti bakar kecil yang kau tawarkan. Aku tetap mengingatnya saat aku duduk dan melihatmu memegang penggaris yang tak terdapat angka 0. Ya, sebelum pelantikan besar, banyak yang harus disiapkan sebagai tim agar mendapat hasil yang memuaskan. Aku perempuan, wajar yang tak mengerti cara memotong selembar triplek yang bisa dibilang cukup keras.

                Dengan suara lembut dan ringan kau menawarkan roti kecil milikmu pada semuanya, dan ketika tawaran tertuju padaku aku tak mengenalmu namun tetap mengambilnya karena aku inginkan roti itu. Sore, iya aku ingat sore itu aku duduk melihat guru yang mengajarimu cara menguku agar potongan yang dihasilkan sesuai. Dengan ragu tapi pasti aku bertanya mengapa tidak kau ukur dari 0. Entengnya dijawab jika penggarisnya tidak ada angka 0. Saat itu aku langsung berfikir apa ukurannya nanti tidak kekecilan ya. Tapi karena belum terlalu mengenal jadi aku ya hanya diam melihat kau mengukurnya.

                Setelah diukur, ada teman yang lain yang bertugas mengiris dengan gergaji selembar triplek tersebut. Aku kembali memperhatikan langkah selanjutnya tersebut. Dan semua selesai, tapi aku tak menemukanmu lagi disetiap pandangan mataku. Aku coba mencarimu dibawah selokan, didalam pot, bahkan di dalam kran air. Tapi aku tetap tak menemukanmu. Hingga aku tersadar bahwa itu hanyalah sebuah bunga tidur yang sangat wangi. Namun tak bisa tercium lagi baunya saat aku tau aku ternyata terlambat berangkat kesekolah hari itu.


Segaris potongan roti